DEWASA
(kisah ini hanya kisah fiktif
belaka, mohon maaf bila ada kesamaan alur kisah, dan tidak ada nama yang disebut
di kisah ini)
Aku ingin
bercerita tentang sepenggal kisah hidupku. Tidak ada yang benar dan salah di sini,
hanya 2 insan yang belum siap saling menerima.
Awalnya semua
dimulai dari kemantapan diriku untuk menikah. Dari segi emosional dan
psikologis aku merasa sudah pantas. Di tambah dari segi finansial bisnisku
sudah mulai menghasilkan pemasukan. Teman baik aku pun banyak yang mendesak
untuk segera menikah, selain aku sering galau karena jomblo seumur hidup, juga
karena aku sering hedon sendiri. aku setuju sekali usulan teman-temanku
untuk segera menikah. Aku mulai dengan mencari calon yang tepat. Dari teman
sekampus yang aku suka tapi belum ada balasan. Kenalan dari teman dari ujung
pulau. Dari kampus sebelah. Hingga seseorang yang sebenarnya aku pun merasa tak
pantas untuknya. Semua aku coba dan belum ada tanda kepastian.
Hingga akhirnya
waktu itu aku bertemu dengan seseorang yang pernah aku suka adik tingkat
tepatnya, di sebuah seminar kami bertemu lagi. Awalnya tak ada pikiran apa pun.
Hingga pada akhirnya dia menghubungiku ingin berkonsultasi tentang impiannya
bekerja di NGO. Kita beberapa kali diskusi, aku merasa sebuah kecocokan dari
pertemuan yang sebentar itu. Kita sama-sama sering mengisi training, sama-sama
pekerja keras, dari latar belakang keluarga yang sama. Dan ingin segera
menikah. Aku merasa ada sebuah kecocokan. Hingga waktu itu.
Aku mengajak dia
untuk menemaniku mengisi sebuah training tentang komunikasi, aku juga
berharap kami bisa punya lembaga training sendiri waktu itu. Training
berjalan lancar dan seru. Hingga waktu pulang aku bercanda. “kalau memang mau
nikah cepet gimana kalau aku ketemu orang tua kamu ?” kataku. Dia kaget dan
hanya bisa tertawa. Aku pun ikut tertawa. Malamnya dia menghubungi, menanyakan
apakah yang aku utarakan itu serius. Dan aku bilang serius, bila memang mengizinkan
aku akan langsung bertemu orang tua.
sayangnya dalam
waktu dekat dia dan orang tuanya akan berlibur ke tasikmalaya untuk liburan
tahun baru di kampung halaman. Aku pun bersedia untuk menunggu. Sampai akhirnya
aku mendapat kabar aku di ajak ikut ke tasik untuk bertemu orang tua dan
keluarga besar. Aku kaget dan bingung harus bagaimana. Aku nekat dan mencoba
untuk memantapkan diri, aku ke tasik bertemu dengan keluarga besar ikut
merayakan tahun baru bersama orang tuanya, keluarga besarnya. Aku diterima
dengan baik, disambut dengan baik tapi lucunya aku belum bisa bilang apa-apa. Aku
hanya dinasihati oleh pamannya panjang lebar. Bila serius segerakan. Misi aku
gagal aku tidak mengutarakan maksudku. Dia pun menodong aku, mana katanya mau
bilang ke orang tua. Aku bilang aku akan bilang segera. di kesempatan yang lain
di rumah pamannya yang lain dibandung saat keluarga besar sedang berkumpul aku
mengutarakan maksudku untuk serius ingin menikahinya di depan ayahnya dan
keluarga besarnya. Dan mengutarakan niatku untuk mengajak dia bertemu orang tuaku
di jawa.
Orang tuaku
awalnya tidak setuju aku menikah dengan orang sunda. Orang tuaku adalah orang
jawa asli yang masih berpegang teguh adat. Aku mendapatkan penolakan besar dari
orang tua dan keluarga besar. Aku takut, aku tak mungkin mundur dengan semua
ini, aku perjuangkan. Aku coba diskusi dengan orang tua. Hingga akhirnya orang
tua luluh untuk mau bertemu dan aku membawanya ke jawa, bertiga bersama adik
perempuanku. Siapa sangka orang tuaku ternyata setuju dan keluarga besar setuju
setelah bertemu dengannya. Hingga nenek berpesan untuk segerakan tak perlu
mewah yang penting segera di halalkan. Aku bahagia.
Hari-hari
berikutnya kita habiskan untuk berdiskusi terkait tanggal khitbah, akad dan
resepsi, mencari list lokasi yang tepat, kami pun sudah memesan cincin
untuk ukuran jari kami. Terjadi banyak perdebatan mulai dari yang awalnya ingin
segera. Hingga akhirnya dimundurkan dan sepakat di sebuah tanggal. Hal tersebut
karena keterbatasan biaya. Biaya hanya dari aku pribadi. Orang tuaku tidak bisa
membiayai, dan orang tuanya baru bisa membantu bila resepsi dilaksanakan tahun
depannya. Sekali lagi aku nekat. Semua biaya aku tanggung sendiri. dan aku kualahan
aku fokus kejar project. Lupa untuk memperhatikannya. Lupa untuk lebih
bersilaturahmi mengenal keluarganya. Lupa untuk menjadi sosok yang akan menjadi
sumi yang perhatian menggantikan ayahnya dan teman-teman baiknya. Lupa hal itu.
Hingga waktu itu saat aku pulang setelah satu minggu berada di Hongkong, dia
meminta waktu. Meminta waktu untuk berpikir ulang, apakah aku benar-benar calon
suami yang tepat untuk dia. Banyak alasannya. Selain aku kurang perhatian, aku
yang belum bisa menggantikan sosok keluarga dan teman temannya, dan dia
ternyata masih trauma dengan masa lalunya. Dia berharap aku bisa menyembuhkan
lukanya, tapi itu tak terjadi, aku hanya egois dengan pekerjaan. Dia berharap
aku bisa membuatnya jatuh cinta, namun ternyata dia belum bisa untuk itu,
mungkin karena ego aku. Aku sakit hati sekali waktu itu. Aku cuma bisa marah,
marah dengan diri sendiri. Apa yang kurang dari aku selama proses ini. Hingga
akhirnya aku bertekad, aku mencintanya, aku akan berusaha untuk menjadi orang
yang di idamkan. Aku berusaha untuk bertemu, dan dia sangat sering menolak
untuk ditemui. Aku bawakan bunga, karena dia suka bunga, aku tunggu dia ketika
dia tes s2. Aku mengumpulkan satpam yang dulu aku kenal untuk mengawasi
motornya dan cegah dia pulang duluan. Aku minta satpam di ruang ujian untuk
mengabari bila dia keluar ruangan. Aku berikan ciri-ciri jaket yang sering dia
pakai, dan aku tunjukan motornya. Hingga aku bertemu dan aku meminta maaf atas
semuanya, aku berikan bunga tersebut dan dia tersenyum. Awalnya aku janji akan
ke rumahnya, ternyata dia sudah ada janji bertemu dengan teman-teman baiknya,
mungkin berdiskusi terkait masalah kami.
Aku adalah orang
yang pencemburu, aku berpesan untuk jangan pulang malam karena temannya tersebut
banyak cowoknya. Dia mengiyakan. Hingga malamnya dia mengabari baru pulang jam
12 malam. Dan bodohnya aku marah besar, dan masalah jadi runyam lagi. aku
mencoba minta maaf aku hantarkan bunga ke rumahnya saat dia tidak ada. Semua kembali
runyam, kutinggalkan projectku dan fokus perbaiki semua ini. Dia bahkan pernah menangis jadi-jadian tak tahu
kenapa, aku pun khawatir, siang itu aku langsung pergi ke rumahnya aku hibur,
aku temani, ngobrol dengan orang tuanya, tapi sampai setelah isya’ ketika aku
akan pulang dia belum mau cerita apa pun, hanya membicarakan hal lain untuk
menghibur diri. Mungkin karena masih teringat dengan masa lalunya.
Beberapa hari
kemudian aku merasa hubungan kita mulai membaik. waktu itu aku mengajaknya
bertemu. dia menolak aku pun terus meminta. Dia akhirnya setuju dengan tidak
membahas proses kita, aku pun mau. Kami sepakat bertemu jam 10, dia terlambat
30 menit dan waktu itu hari jumat. Kami hanya berbincang sebentar, dia tampak
sedang bad mood namun ketika aku membahas novel yang baru selesai dia
baca, dia bersemangat lagi. karena mengejar sholat jumat aku pun pamit dan merasa
semua baik-baik saja.
Hingga akhirnya siangnya
aku membaca sebuah tulisan yang dia tulis di media sosial. Dia mengunggah
tulisan itu pagi sebelum bertemu. Awalnya aku hanya membaca sepotong kata yang
dia screeshot dan di unggah ke media sosial lain. Karena tulisan itu
memang dibuat private. Aku penasaran dengan potongan kata itu. Sebuah potongan
kata yang merujuk ke mantan kekasihnya dulu. Aku meminta penjelasannya. Dan akhirnya
dia pun menunjukkan tulisan itu secara utuh. Dan sungguh waktu itu aku bena-
benar marah besar. Sebuah tulisan yang menunjukkan dia masih rindu dengan mantan
kekasihnya. Aku kecewa dengan diriku sendiri, marah dengan semua yang sudah ku
perbuat. Aku mencoba berpikir positif, dia hanya menjelaskan bukan itu maksudnya,
hanya menjelaskan via chat tanpa tatap muka. Aku tetap marah, kubaca
berulang kali tulisan tersebut mencoba menangkap yang dia maksud. Aku hanya
makin marah, cacian dan ungkapan kekesalan yang aku lontarkan via chat juga.
Dia berusaha menelepon dan aku tidak mau mengangkat. Waktu itu dia harus lembur
dan menginap di kantor dan besoknya dia harus ke tasik, dan baru pulang ke Bandung
hari minggunya. Dia berjanji akan memberikan penjelasan dan mengajak untuk
bertemu. Aku setuju. 3 hari menunggu penjelasan aku makin tak karuan, merasa
kecewa dengan semua yang sudah aku lakukan. Aku coba berkonsultasi ke beberapa
teman baik. Dan mereka pun bingung harus seperti apa. Hingga di hari minggu aku
menunggu kabar darinya dari sore hingga malam aku menunggu di tempat biasa kita
bertemu. Namun tak ada kabar darinya. Aku benar-benar marah waktu itu. Hingga akhirnya
aku memutuskan untuk menyudahi semua proses, dan aku mengirimkan pesan tersebut
kepadanya. Dia membalas dan ternyata dia baru sampai di rumah, dia meminta
untuk bertemu besoknya untuk menjelaskan semuanya.
Besoknya kita
bertemu, dia menjelaskan tidak ada maksud sama sekali untuk kembali ke mantan
kekasihnya. Dan dia juga merasa kecewa dengan cacian dan ungkapan kekesalan
yang aku lontarkan sebelumnya. Sejujurnya aku masih berharap untuk memperbaiki
ini semua. Tapi dia menolak untuk aku menghubunginya lagi, menolak untuk
bertemu, dia butuh waktu. Dan mungkin masih ada kesempatan.
Beberapa hari berlalu
tanpa komunikasi, dan muncul sebuah notifikasi pesan, pesan dari dia. Ternyata dia
masih mencoba untuk menghubungi. Muncul harapan, tapi entah mengapa semua terasa
kaku, hanya pesan singkat, dengan rasa tak nyaman.
Kemudian beberapa
hari berlalu tanpa komunikasi lagi, hingga akhirnya aku melihat di media sosialnya.
Lagi-lagi media sosial. Dia mengunggah sebuah foto dari jepang, aku kaget kenapa
dia ada di jepang. Setelah aku telusuri ternyata dia tidak di jepang, melainkan
itu sebuah foto dari teman cowoknya yang sedang kuliah di jepang. Tapi yang
membuat aku kecewa adalah caption-nya tentang cinta, seakan dia merindukan
cinta. Dua kali dia mengunggah foto dengan caption yang bernada sama,
bahkan salah satu fotonya juga diunggah oleh temannya tersebut. Foto tentang bunga
sakura tepatnya. Aku tak tahu apa maksudnya. Aku kembali marah kembali kecewa. Entah
mungkin aku yang terlalu pencemburu. Namun aku tak meminta penjelasan, mencoba
menunggu dan mencoba bersabar.
Beberapa hari kemudian dia mengirimkan pesan
lagi. dia merasa kecewa karena aku tidak berusaha memperbaiki proses kami. Dia merasa
sakit hati dengan keputusan yang aku pilih untuk mengakhiri proses ini. Aku marah besar
lagi waktu itu, aku merasa dia yang tidak berusaha, dan dia yang juga yang mumutuskan untuk menolak untuk aku menghubunginya, hingga akhirnya aku ungkapkan semua apa yang aku pikirkan, rasa
cemburu, rasa kecewa, rasa kekesalan akan semua usaha yang sudah ku perbuat. Akhirnya
aku mengutarakan untuk menghentikan semua proses ini kita sepakat untuk mengakhiri
semuanya. Hanya akan ada ungkapan kebencian, dan saling menyalahkan. Dan begitulah
semua berakhir, terasa hampa sekarang, hanya tertinggal sepasang cincin yang
belum sempat aku sematkan ke jari manisnya. Sebuah kekecewaan. Entah kecewa
dengan siapa. Mungkin ini jalan Tuhan untuk mendewasakanku, dengan ketergesa-gesaanku
yang hanya ingin segera menikah, tanpa mencoba untuk lebih dewasa. Maaf.
(kisah ini
hanya kisah fiktif belaka, mohon maaf bila ada kesamaan alur kisah, dan tidak
ada nama yang disebut di kisah ini)
Komentar
Posting Komentar